Strawberryku
Rain seperti
biasa, memandangi indahnya butiran hujan. Entah mengapa dia selalu
terkagum-kagum. “Hey Ra, kenapa bengong mulu sih? Mikirin aku ya?” suara Brian
membuat Rain sedikit terjingkat. “Ah kau ini Bri pede banget. Kan aku suka
hujan, mereka itu indah Bri.” Namun Brian tak sependapat dengannya, Brian
selalu benci hujan. Karena hujan dia harus terkurung dalam suatu suasana, Brian
benci bila rencananya batal dan apalagi itu karena hujan. Mereka berbeda, Rain
sangat menyukai hujan, sedangkan Brian sangat membencinya.
Bel pulang
berdering nyaring. Rain langsung mengambil barangnya yang berada di meja. “Kamu
pulang sekarang?” Alex muncul begitu saja tanpa ada tanda-tanda. “Iya, kenapa
Lex? Kamu nggak pulang?” jawab Rain sambil membereskan tasnya. Alex malah
mengacak-ngacak rambut Rain, itu salah satu hal yang tidak disukai Rain. Mereka
bercanda hingga terbahak-bahak, Brian melihat mereka dari kejauhan. Ada sorot
kecemburuan di situ. Namun Brian tak pernah mengungkapkannya, ia memilih untuk
tidak masuk ke dalam kelas terlebih dahulu.
“Bri, aku
pulang duluan ya. Aku udah dijemput, maaf nggak bisa liat kamu latihan futsal.”
Muka Rain yang begitu manis membuat Brian tidak bisa berkata tidak walaupun dia
sedikit kecewa. “Iya, nggak apa-apa kok sayang, hati-hati ya.” Jawab Brian
sambil mengusap kepala Rain. Mereka sudah berjalan sekitar 1 bulan lebih. Masih
manis, dan belum ada pertengkaran yang berarti. Dunia terasa milik mereka
berdua. Begitu indah, begitu nyaman, dan damai. Jauh dari kata perpecahan.
Alex menghadang
Rain di depan pintu, Brian lebih memilih tidak melihat mereka. Karena ia tahu,
ia tidak ada bandingannya dengan Alex. Alex lebih mengenal Rain daripada
dirinya, Alex selalu tahu ini itu tentang Rain, sedangkan dia? Tidak ada dari
setengahnya.
Alex menawarkan
diri untuk mengantar Rain ke depan gerbang sekolah, Rain hanya tersenyum. Alex
langsung menarik tangan Rain ke dalam genggamannya. Seolah Rain hanya miliknya,
bukan milik Brian. Dan Rain tidak bisa menolaknya, karena ia tahu, mengacuhkan
Alex sama saja memulai pertengkaran. “Aku pulang dulu ya Lex.” Seraya memasuki
mobil. Alex melambaikan tangannya dan kembali ke dalam sekolah.
Rain terlalu
lelah dengan kegiatan hari ini, ia ingin tidur walaupun hanya sebentar. Dia
tahu dia tidak boleh terlalu lelah, karena itu akan berpengaruh buruk pada
kerja jantungnya. Dia meraih iPod hitam kesayangannya, ia pasang headset ke
kepalanya. Alunan lagu milik Paramore memenuhi kepalanya. Hingga akhirnya ia
tertidur.
Think of me when you're out when you're out there
I'll beg you nice from my knees
When the world treats you way too fairly
It's a shame I'm a dream
Sore ini
dihabiskan Rain untuk mengerjakan tugas sekolah. Kring. Kring. Ponselnya
berdering, seulas senyum langsung mengembang di raut wajahnya. “Iya Bri?
Kenapa?” dia tahu betul siapa yang menelponnya. “Nggak apa-apa Ra, aku kangen
aja sama kamu hehehe.” Rain terkekeh. “Ah kamu ini, gombal aja tiap hari. Udah
ngerjain tugas Pak Fikri? Besok dikumpulin lo ya, jangan lupa.” Ini yang
disukai Brian, omelan Rain yang selalu membicarakan tentang tugas sekolah. Karena Brian sering tidak mengerjakan tugas
karena lupa dan ditambah lagi malas. Selang beberapa menit mereka berbicara
melalui ponsel. Percakapan itu harus diakhiri karena Rain sudah mengantuk.
Brian pun juga ikut-ikutan mengantuk padahal sama sekali tidak.
Hari-hari
selanjutnya mereka baik-baik saja. Semuanya berjalan dengan indah. Belum ada
luka di antara mereka. Masih seperti di dalam surga. Keduanya masih bahagia,
saling menjaga dan mencintai. Hingga suatu hari Rain merasakan ada suatu
kejanggalan dengan sikap Brian yang berubah, tidak seperti biasanya.
Brian berubah
menjadi orang yang tidak dikenali Rain lagi. Dia dingin, cuek, dan jarang
menghubungi Rain. Rain selalu bertanya kepadanya, namun jawabannya tetap sama.
Katanya tidak ada apa-apa, padahal jelas ada apa-apa! Setiap sore Rain menangis
dihadapan Alex. Alex sungguh sedih karena melihat sahabat yang tercinta sedang
sakit hati. “Aku kan pernah bilang Ra, kamu pasti sakit hati lagi. Ya kan?” Alex
menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. “Tapi Lex, aku sayang sama dia. Apa sih yang
bikin dia kayak gitu? Aku salah apa Lex?” tangisan Rain semakin menjadi. Alex
mencoba menghiburnya dengan mengajak Rain membeli coklat dan es krim.
Namun itu semua tetap saja gagal.
Rain lebih memilih untuk tetap menangis. Alex langsung memasangkan headset ke
telinga Rain. Dikeraskan volume iPodnya. Lagu “Silent Scream” milik IKMH
memenuhi kepala Rain. Rain diam lalu menatap Alex, balasannya Alex hanya
tersenyum dan mengusap rambut Rain dengan lembut, bagaikan mereka saling
memahami tanpa perlu berucap.
Don’t you cry don’t you scream
I will always on your side
Rain
memandangi Brian dari jauh, sedari tadi tidak ada hal lain yang dilakukannya.
Rain tidak ingin berbicara dengan Brian, namun dia sangat merindukannya.
Terlalu sesak menahan rindu seperti ini. Brian sudah sangat jarang menghubungi
Rain. Tetapi mereka belum berakhir, sama sekali belum. “Entah mana yang lebih
sakit, ditinggalin kamu atau kamu gantungin Bri.” Ucap Rain dalam hati. Rain
melewati hari-harinya dengan kepalsuan. Ia selalu tersenyum di depan semua
orang, padahal hatinya jelas tak ingin tersenyum sedikitpun.
Kepala Rain
terlalu berat, ia menyandarkan kepalanya di sofa kamarnya. Ia sungguh tidak
tahu harus bagaimana lagi. Akhirnya ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan
untuk Brian. “Bri, kamu kenapa sih jadi kayak gini? Jujur aja aku nggak
apa-apa. Aku pasti rubah itu semua kok. Asal kamu jangan kayak gini sama aku.
Aku nggak tahan Bri.” Rain mendesah pelan. Dia menunggu balasan Brian dengan
sabar. Kringg. Segera ponselnya ia raih, ia baca, “Aku cemburu kamu deket sama
Alex. Iya sih sahabat, tapi juga nggak kayak gitu dong. Aku ini cowokmu Ra!”
seketika badan Rain kembali lemas.
Memangnya
salah bersahabat dengan lelaki? Memangnya salah dekat dengan sahabat? Memangnya
salah bercanda dengan orang yang dari dulu mengenal kita? AH! Rain melempar
ponselnya ke ujung tempat tidur. Haruskah ia menjauhi Alex agar Brian berubah?
Haruskah ia berpura-pura tak kenal Alex untuk membuat Brian kembali seperti
dulu? Haruskah mengorbankan sahabat? Entahlah. Rain sangat pusing. Ia ingin
tidur. Ia ingin menceritakan semuanya kepada Alex. Tapi bukankah hal itu akan
mengundang kemarahannya saja? Ah sudahlah biarkan saja dulu seperti ini. “Don’t
Want An Ending” milik Sam Tsui memenuhi sudut ruangan kamarnya. Yang ia
butuhkan sekarang hanyalah bermimpi, bermimpi bahwa ini semua bukanlah sebuah
kenyataan.
I don't wanna fall out
But we're all out of time
(Is this over?)
(Don't want an ending)
“Ra,
kamu kenapa? Kamu nangis ya? Matamu bengkak banget ya Tuhan Ra! Kamu kenapa?
Cerita sini sama aku.” Pagi ini Rain sudah ditodong begitu banyak pertanyaan
Alex. “Maaf Lex, lagi nggak pengen cerita. Maaf ya.” Benar, Rain saat ini
sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. “Iya deh, tapi inget ya. Aku itu
strawberrymu. Kamu bisa panggil aku kapan aja kamu mau. Waktu kamu
badmood atau lagi bahagia, rasa asam strawberrymu ini selalu menemani. Aku
bakal ada buat kamu, kapanpun Ra.”